Dialog Ringan Tentang Allah

3:09 AM
Seorang anak yang masih bersih fitrahnya berdialog dengan gurunya yang atheis dan tidak mempercayai adanya Allah Ta’ala.


Guru      : Wahai anak-anak apakah kalian melihatku?
Murid    : Ya.
Guru      : Apakah kalian melihat meja ini?
Murid    : Ya.
Guru      : Apakah kalian melihat gambar ini?
Murid    : Ya.
Guru      : Apakah kalian melihat Allah?
Murid    : Tidak, tidak, tidak.



Pak Guru memanfaatkan kesempatan ini untuk menanamkan keyakinannya yang salah kepada murid-muridnya bahwa Allah tidak ada seraya berkata: “Kalau begitu Allah tidak ada, karena kalau Dia ada tentu kita bisa melihatnya seperti meja, gambar dan lainnya”.

Murid-murid bingung harus menjawab apa. Lalu salah seorang anak dari mereka mengangkat tangan meminta ijin untuk berbicara.

Guru    : Katakanlah apa yang kamu inginkan.
Murid  : Apakah Pak Guru mengijinkan saya bertanya beberapa pertanyaan seperti pertanyaan  Bapak?
Guru    : Boleh, tidak mengapa.
Murid  : Wahai teman-teman apakah kalian melihat Pak Guru?
Teman-Temannya: Ya.
Murid  : Apakah kalian melihat pakaian Pak Guru?
Teman-Temannya: Ya.
Murid   : Apakah kalian melihat mata Pak Guru?
Teman-Temannya: Ya.
Murid  : Apakah kalian melihat akal Pak Guru?
Teman-Temannya: Tidak, tidak, tidak.

Murid: Wahai teman-teman, kalau begitu Pak Guru tidak mempunyai akal karena Pak Guru mengatakan bahwa sesuatu yang ada harus terlihat dan kami tidak melihat akal Pak Guru, jadi Pak Guru tidak berakal……


Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Setiap bayi yang lahir dilahirkan dalam keadaan fitrah (bersih keyakinannya). Ayah dan ibunya-lah yang menjadikannya Yahudi atau Nashrani atau Majusi.” (Hadis Sahih)

Secara fitrah dan naluri semua makhluk mengakui adanya Allah tanpa terlebih dahulu berpikir atau belajar, kecuali apabila terdapat sesuatu yang memalingkannya dari fitrah ini.

Akal dan jiwa yang sehat pasti mengakui adanya Allah berdasarkan proses terjadinya makhluk. Karena semua makhluk pasti ada yang menciptakannya. Tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri dan tidak mungkin pula terjadi secara kebetulan, pasti ada Penciptanya.

“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” ( QS  52  Ath-Thur: 35).

Semua kitab Samawi (kitab yang turun dari langit seperti Al-Qur’an, Taurat dan Injil) berbicara tentang adanya Allah dan kewajiban beribadah kepadaNya. Bermilyar-milyar manusia semenjak dahulu kala sampai saat ini menyakini adanya Allah. Alam semesta dan semua yang terjadi di dalamnya juga menjadi bukti adanya Dzat Yang Mengaturnya karena tidak mungkin alam semesta ini berjalan dengan sendirinya tanpa ada yang mengaturnya.


Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah pernah menyadarkan orang-orang atheis yang tidak percaya adanya Allah dengan contoh yang sangat sederhana, yaitu tentang sebuah perahu yang mengarungi samudera tanpa adanya nahkoda, penumpang dan pengendali. Benar-benar perahu itu jalan sendiri, menyelamatkan dirinya dari ombak sendiri, menaikkan dan menurunkan barang sendiri, menuju tempat tujuannya sendiri dan semuanya di jalankan sendiri oleh perahu itu. Tentu saja semua orang atheis tersebut tidak percaya dan mereka mengatakan: “Tidak mungkin orang berakal mempercayai ini”.

Saat itulah kesempatan bagi Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah untuk meyakinkan kepada mereka bahwa Allah itu ada dan kita wajib beribadah kepadanya; “Kalau perahu berjalan sendiri seperti itu saja kalian tidak mempercayainya dan kalian katakan bahwa tidak mungkin orang berakal mempercayainya, bagaimana pula dengan alam semesta ini? Langit, bumi, matahari, bulan, bintang-bintang, gunung-gunung, lautan dan lainnya tentu lebih tidak masuk akal lagi kalau semua ini berjalan dengan sendirinya tanpa ada yang mengaturnya”. Akhirnya orang-orang atheis tersebut tidak mampu mematahkan argumentasi yang sangat sederhana tapi mengena ini.

“Dan Tuhanmu adalah tuhan yang Maha Esa; tidak ada tuhan yang haq melainkan Dia, yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” ( QS 2 Al Baqarah: 163).

Setiap orang yang beriman kepada Allah pasti hidupnya penuh dengan kedamaian, ketenangan dan kebahagiaan sesuai dengan kadar keimanannya. Hidupnya menjadi bermakna dan bermanfaat, selalu tunduk dan patuh terhadap semua aturan Allah dan hanya beribadah kepadaNya serta tidak menyekutukannya dengan suatu apapun. Semoga bermanfaat…

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright © 2012 Catatan Sang Adek. Powered By Blogger (of course)